15:43
0
Step Outside
Oleh : Iqbal Arif Firmansyah
Tidak ada manusia di drama ini yang tahu alur cerita masing-masing. Kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, semua telah diurutkan. Segala perasaan telah diberikan-Nya untuk mengemosikan keadaan.
Aku Fajrin. Muhammad Fajrin lengkapnya. Aku pria normal yang berusia duapuluh lima tahun. Bercerita, mengarang, dan menulis adalah hal yang tak biasa bagiku, apalagi mencurhatkan beberapa naskah yang telah aku perankan. Mungkin karena aku memang orang yang sulit berkomunikasi. 
Aku mulai ingat kisah hidupku saat usiaku masih sembilan tahun. Saat itu aku dibesarkan oleh keluarga yang cukup materi dan kasih sayang, saat aku masih memiliki keluarga yang lengkap, keluarga yang akur dan tentram.
Sampai aku mulai beranjak remaja, aku seakan mendapat ujian mendadak secara bertubi-tubi. Mendapat banyak pelajaran hidup yang begitu berharga. Yang membuat keluarga kami tidak utuh lagi dan membuat iman serta semangat hidup kami luntur. Orang yang sangat kami sayangi telah pergi meninggalkan kami, untuk selamanya. Sekarang hanya tinggal ayah dan kedua kakakku. Umurku dengan kedua saudaraku tidak terpaut jauh, tak sering kami berbagi tentang kesedihan kami tentang kehilangan yang kami rasakan. Kami tidak tau pasti apa yang terjadi tetapi yang jelas ini semakin menggoyahkan keluarga kami. Ayahku kehilangan pekerjaannya. Seketika kami mengalami kesulitan ekonomi. Aku dan kakak keduaku memutuskan untuk berhenti sekolah, untuk membiayai kuliah kakak pertama kami. Karena banyak waktu luang yang dimiliki, kakak kedua ku mulai terjerumus dalam lingkungan negatif remaja. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara.
Waktu demi waktu berlalu, kami mulai benar-benar merasakan  kerasnya kehidupan. Tetapi Allah memberi jalan bagi keluarga kami. Kakak pertamaku berhasil lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di suatu perusahaan.
Kebahagian kami tidak lama bertahan. Kembali terulang, kami kehilangan anggota keluarga yang kami cintai. Anak kedua ayah harus pergi untuk selamanya. Terjerumus di dunia malam, ia menabrak pembatas jalan saat balapan liar, kesadarannya hilang di bawah kendali morfin yang disuntikkan setengah jam sebelum balapan. Ayahku begitu tepuruk setelah kejadian itu. Tak menyangka anak keduanya harus meninggal dengan sangat tidak wajar. Dan tragis.
Umurku sudah memasuki angka 17, aku mulai berangan-angan ingin memiliki pekerjaan. Paling tidak bisa membantu mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ayah. Ya, ayahku mulai sakit-sakitan, meskipun begitu ia masih giat bekerja walaupun hanya sebagai kuli bangunan. Aku mulai membayangkan punya usaha sepatu lukis, akupun mulai sering membicarakan hal itu kepada keluargaku. Sampai suatu hari malaikat menghampiri rumahku dan membawa ayahku pergi untuk selama-lamanya. Rasanya Allah ingin benar menguji hambanya ini. Seperti rumah tanpa pondasi, tanpa atap. Tak hanya itu aku sempat mengalami depresi dan kepanikan yang luar biasa hebat sampai bminggu-minggu. Jarang makan, tak pernah mengurus kesehatan, sampai kehilangan kontrol emosi.
Seiring berjalanya waktu aku mulai sedikit mengiklaskan apa yang terjadi. Aku kembali normal.
“Bagaimana sudah siap atau belum?” tanya kakakku disela acara sarapan kami.
“Siap ke mana?” aku balik bertanya.
“Enggak, aku mengumpulkan sebagian gajiku, ditambah tabungan lama, sepertinya cukup untuk modal usaha,” jawab kakakku.
“Ah, nggak usah nanti malah ngebuang duit, lagian mau bisnis apa, kakak kan udah punya pekerjaan,”  balasku dengan nada heran.
“Eh, bukan kakak yang mau bisnis, itu duit buat buka usaha kamu, dulu kan kamu pernah bilang mau buka usaha sepatu lukis?” kakakku memberi penjelasan dengan nada seperti ucapan ibu dulu.
Aku terdiam, agak teringat kembali tentang impianku saat itu. Di sela itu juga sempat terpikir olehku almarhum ayahku.
“Malah diem, gimana? Kalau iya nanti Kakak bantu, Kakak carikan bahan dan alatnya,” tambah kakakku.
Aku masih berat memikirkan. Sebagai remaja yang belum bisa mengontrol emosi dengan baik, aku sempat takut untuk menyetujui hal tersebut. Tapi sempat tersirat dalam kepalaku, pertanyaan-pertanyaan tentang masa depanku.
“Ok. Iya aku setuju tapi janji dibantu ya,” jawabku setelah pikir panjang.
Kehidupan baruku dimulai. Awalnya memanglah susah untuk mendirikan ataupun memulai sesuatu yang baru, tetapi setelah banyak meneteskan keringat dan air mata akupun dapat mencapai bagian yang membahagiakan dalam alur dramaku. Ditambah kakakku yang mendapat kenaikan pangkat di perusahaannya. Usaha impianku makin lama makin berkembang, bahkan sudah sampai luar pulau. Sepatu lukis menjadi trend berkostum baru kalangan remaja di daerahku.
“Dan, ini dapet pesenan dari Banyuwangi, mintanya nama makek bunga-bunga, warna pink, katanya buat sovenir pernikahan” ujarku ke salah satu desainer gambar, karyawanku.
“Siap, Pak. Ini ditambah gambar yang nikah gak?” ia balik bertanya.
“Enggak cuman nama,” balasku.
Setelah lima tahun aku sudah mempunyai 18 karyawan, plus satu desainer. Entah, mungkin karena hampir seumuran mereka begitu akrab denganku. Serasa memiliki keluarga baru.
Tak biasa aku terbangun sepagi ini,  jari kecil di jam masih menunjuk angka 3. Mimpiku aneh, walau lupa tetapi itu berhubungan dengan uang yang ada di brangkas kantor usahaku. Bergegas ku ambil air wudhu dan lanjut untuk shalat tuk hilangkan kecemasan dalam pikiranku. Tetapi anehnya aku tertidur saat shalat dan anehnya lagi aku mimpi kejadian yang sama seperti mimpi sebelumnya. Paginya aku bergegas kekantor, aku berpikir untuk memindahkan uang yang ada di brankas kerumah. Innaillahi ! seruku dalam hati, kantorku berantakan, arsip arsip berserakan, semua almari terbuka. Terdengar suara orang dari dalam, lantas dengan perlahan ku dekati sumber suara itu.
“Woi! Sedang apa lo!” bentakku.
Ternyata ada tiga orang yang sedang bermain dengan brankasku. Mereka langsung menghampiriku, salah satunya berlari dan membawa pisau kecil ditangan kanannya.
Berusaha membuka mataku, serasa nyeri di bagian paha dan perut. Tak kusangka aku ada dirumah sakit. Aku pingsan, kata dokter aku terkena dua tusukan di perut dan paha. Kakakku langsung menghampiriku, ia menceritakan semuanya. Drama yang dramatis bagiku, orang yang melukaiku ternyata adalah pekerjaku sendiri.
     Semuanya lepas, hilang, ludes. Pendapatan satu bulan dan gaji karyawan bulan ini yang sudah kusiapkan di brankas kalap. Dan bonusnya, aku masuk rumah sakit karena luka robek di perut bagian kanan.
    Sebulan setelah kejadian itu, aku masih bisa mengerjakan pesanan meski agak terbebani. Aku membuat aturan bayar di muka karena memang tak ada modal. Hal itu berjalan lancar. Semua berkat keahlian manajemen otodidak yang kuperoleh dari kehidupan. Aku tahu, Allah selalu punya jalan yang paling aman untuk setiap hambanya. Dari kejadian itu aku belajar tentang sesuatu yang baru. Bagaimana aku menjadi lebih waspada dan ikhlas.

     Sepatu lukisku mulai masuk pangsa pasar mancanegara, atas bantuan seorang kawan yang ahli web programming. Ia membuat website tentang sepatu lukis milikku, dan menarik perhatian orang di luar. Banjir pesanan masuk ke kantor. Dan inilah akhir dari kepayahanku selama ini. Pembayaran atas hutang Allah yang kutagih dalam hidupku atas pengorbananku.

Pencarian terkait:

0 komentar:

Post a Comment