Step
Outside
Oleh : Iqbal Arif Firmansyah
Tidak
ada manusia di drama ini yang tahu alur cerita masing-masing. Kebahagiaan,
kesedihan, kekecewaan, semua telah diurutkan. Segala perasaan telah
diberikan-Nya untuk mengemosikan keadaan.
Aku
Fajrin. Muhammad Fajrin lengkapnya. Aku pria normal yang berusia duapuluh lima tahun.
Bercerita, mengarang, dan menulis adalah hal yang tak biasa bagiku, apalagi
mencurhatkan beberapa naskah yang telah aku perankan. Mungkin karena aku memang
orang yang sulit berkomunikasi.
Aku
mulai ingat kisah hidupku saat usiaku masih sembilan tahun. Saat itu aku
dibesarkan oleh keluarga yang cukup materi dan kasih sayang, saat aku masih
memiliki keluarga yang lengkap, keluarga yang akur dan tentram.
Sampai
aku mulai beranjak remaja, aku seakan mendapat ujian mendadak secara
bertubi-tubi. Mendapat banyak pelajaran hidup yang begitu berharga. Yang
membuat keluarga kami tidak utuh lagi dan membuat iman serta semangat hidup
kami luntur. Orang yang sangat kami sayangi telah pergi meninggalkan kami,
untuk selamanya. Sekarang hanya tinggal ayah dan kedua kakakku. Umurku dengan
kedua saudaraku tidak terpaut jauh, tak sering kami berbagi tentang kesedihan
kami tentang kehilangan yang kami rasakan. Kami tidak tau pasti apa yang terjadi
tetapi yang jelas ini semakin menggoyahkan keluarga kami. Ayahku kehilangan
pekerjaannya. Seketika kami mengalami kesulitan ekonomi. Aku dan kakak keduaku
memutuskan untuk berhenti sekolah, untuk membiayai kuliah kakak pertama kami.
Karena banyak waktu luang yang dimiliki, kakak kedua ku mulai terjerumus dalam
lingkungan negatif remaja. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara.
Waktu
demi waktu berlalu, kami mulai benar-benar merasakan kerasnya kehidupan. Tetapi Allah memberi
jalan bagi keluarga kami. Kakak pertamaku berhasil lulus kuliah dan mendapat
pekerjaan di suatu perusahaan.
Kebahagian
kami tidak lama bertahan. Kembali terulang, kami kehilangan anggota keluarga
yang kami cintai. Anak kedua ayah harus pergi untuk selamanya. Terjerumus di
dunia malam, ia menabrak pembatas jalan saat balapan liar, kesadarannya hilang
di bawah kendali morfin yang disuntikkan setengah jam sebelum balapan. Ayahku
begitu tepuruk setelah kejadian itu. Tak menyangka anak keduanya harus
meninggal dengan sangat tidak wajar. Dan tragis.
Umurku
sudah memasuki angka 17, aku mulai berangan-angan ingin memiliki pekerjaan.
Paling tidak bisa membantu mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ayah. Ya,
ayahku mulai sakit-sakitan, meskipun begitu ia masih giat bekerja walaupun hanya
sebagai kuli bangunan. Aku mulai membayangkan punya usaha sepatu lukis, akupun
mulai sering membicarakan hal itu kepada keluargaku. Sampai suatu hari malaikat
menghampiri rumahku dan membawa ayahku pergi untuk selama-lamanya. Rasanya Allah
ingin benar menguji hambanya ini. Seperti rumah tanpa pondasi, tanpa atap. Tak
hanya itu aku sempat mengalami depresi dan kepanikan yang luar biasa hebat
sampai bminggu-minggu. Jarang makan, tak pernah mengurus kesehatan, sampai
kehilangan kontrol emosi.
Seiring
berjalanya waktu aku mulai sedikit mengiklaskan apa yang terjadi. Aku kembali
normal.
“Bagaimana
sudah siap atau belum?” tanya kakakku disela acara sarapan kami.
“Siap
ke mana?” aku balik bertanya.
“Enggak,
aku mengumpulkan sebagian gajiku, ditambah tabungan lama, sepertinya cukup
untuk modal usaha,” jawab kakakku.
“Ah,
nggak usah nanti malah ngebuang duit, lagian mau bisnis apa, kakak kan udah
punya pekerjaan,” balasku dengan nada
heran.
“Eh,
bukan kakak yang mau bisnis, itu duit buat buka usaha kamu, dulu kan kamu
pernah bilang mau buka usaha sepatu lukis?” kakakku memberi penjelasan dengan
nada seperti ucapan ibu dulu.
Aku
terdiam, agak teringat kembali tentang impianku saat itu. Di sela itu juga
sempat terpikir olehku almarhum ayahku.
“Malah
diem, gimana? Kalau iya nanti Kakak bantu, Kakak carikan bahan dan alatnya,”
tambah kakakku.
Aku
masih berat memikirkan. Sebagai remaja yang belum bisa mengontrol emosi dengan
baik, aku sempat takut untuk menyetujui hal tersebut. Tapi sempat tersirat
dalam kepalaku, pertanyaan-pertanyaan tentang masa depanku.
“Ok.
Iya aku setuju tapi janji dibantu ya,” jawabku setelah pikir panjang.
Kehidupan
baruku dimulai. Awalnya memanglah susah untuk mendirikan ataupun memulai
sesuatu yang baru, tetapi setelah banyak meneteskan keringat dan air mata
akupun dapat mencapai bagian yang membahagiakan dalam alur dramaku. Ditambah
kakakku yang mendapat kenaikan pangkat di perusahaannya. Usaha impianku makin
lama makin berkembang, bahkan sudah sampai luar pulau. Sepatu lukis menjadi trend
berkostum baru kalangan remaja di daerahku.
“Dan,
ini dapet pesenan dari Banyuwangi, mintanya nama makek bunga-bunga, warna pink,
katanya buat sovenir pernikahan” ujarku ke salah satu desainer gambar,
karyawanku.
“Siap,
Pak. Ini ditambah gambar yang nikah gak?” ia balik bertanya.
“Enggak
cuman nama,” balasku.
Setelah
lima tahun aku sudah mempunyai 18 karyawan, plus satu desainer. Entah, mungkin
karena hampir seumuran mereka begitu akrab denganku. Serasa memiliki keluarga
baru.
Tak
biasa aku terbangun sepagi ini, jari
kecil di jam masih menunjuk angka 3. Mimpiku aneh, walau lupa tetapi itu
berhubungan dengan uang yang ada di brangkas kantor usahaku. Bergegas ku ambil
air wudhu dan lanjut untuk shalat tuk hilangkan kecemasan dalam pikiranku.
Tetapi anehnya aku tertidur saat shalat dan anehnya lagi aku mimpi kejadian
yang sama seperti mimpi sebelumnya. Paginya aku bergegas kekantor, aku berpikir
untuk memindahkan uang yang ada di brankas kerumah. Innaillahi ! seruku dalam hati, kantorku berantakan, arsip arsip
berserakan, semua almari terbuka. Terdengar suara orang dari dalam, lantas
dengan perlahan ku dekati sumber suara itu.
“Woi!
Sedang apa lo!” bentakku.
Ternyata
ada tiga orang yang sedang bermain dengan brankasku. Mereka langsung
menghampiriku, salah satunya berlari dan membawa pisau kecil ditangan kanannya.
Berusaha
membuka mataku, serasa nyeri di bagian paha dan perut. Tak kusangka aku ada
dirumah sakit. Aku pingsan, kata dokter aku terkena dua tusukan di perut dan
paha. Kakakku langsung menghampiriku, ia menceritakan semuanya. Drama yang
dramatis bagiku, orang yang melukaiku ternyata adalah pekerjaku sendiri.
Semuanya lepas, hilang, ludes. Pendapatan satu
bulan dan gaji karyawan bulan ini yang sudah kusiapkan di brankas kalap. Dan
bonusnya, aku masuk rumah sakit karena luka robek di perut bagian kanan.
Sebulan setelah kejadian itu, aku masih
bisa mengerjakan pesanan meski agak terbebani. Aku membuat aturan bayar di muka
karena memang tak ada modal. Hal itu berjalan lancar. Semua berkat keahlian
manajemen otodidak yang kuperoleh dari kehidupan. Aku tahu, Allah selalu punya
jalan yang paling aman untuk setiap hambanya. Dari kejadian itu aku belajar
tentang sesuatu yang baru. Bagaimana aku menjadi lebih waspada dan ikhlas.
Sepatu lukisku mulai masuk pangsa pasar
mancanegara, atas bantuan seorang kawan yang ahli web programming. Ia membuat
website tentang sepatu lukis milikku, dan menarik perhatian orang di luar. Banjir
pesanan masuk ke kantor. Dan inilah akhir dari kepayahanku selama ini.
Pembayaran atas hutang Allah yang kutagih dalam hidupku atas pengorbananku.
Pencarian terkait:
0 komentar:
Post a Comment